Alkisah, tersebutlah sebuah zat di dunia mikro bernama Timbal atau timah hitam. Timbal yang tak kasat mata ini punya inisial Pb (baca: pebe). Tapi namanya tak sesingkat ancaman yang dibawanya. Ia tergolong salah satu zat pembunuh, yang mengancam kesehatan dan masa depan umat manusia. Celakanya, si pebe ada di udara sekitar kita! ="\""===
Jika terhirup dan masuk ke tubuh, sebagian besar akan ditimbun dalam tulang. Ketika orang mengalami stres, pebe diremobilisasi dari tulang dan masuk ke peredaran darah sehingga menimbulkan risiko keracunan. Dalam jangka panjang, penimbunan pebe bisa berbahaya.
Pebe yang ditimbun dalam tulang seorang perempuan hamil, berisiko mengakibatkan kesehatan janin dan pertumbuhan balita terganggu, seperti, bayi cacat, bahkan keguguran! Bahkan jika berhasil lahir selamat, balita yang mendapatkan asupan timbal terus-menerus dari udara maupun air susu ibu, akan terhambat perkembangan sistem sarafnya. Anak menghadapi risiko penyakit neurotik, sukar belajar, dan penurunan tingkat IQ. Peningkatan kadar pebe dalam darah dari 10 menjadi 20 5g/dl, menurunkan IQ rata-rata dua poin.
Pada remaja, pebe meningkatkan kelakuan kriminal. Sementara pada perempuan dewasa, selain mengganggu sistem reproduksi, juga mengganggu daur menstruasi. Pada laki-laki, pebe menurunkan jumlah dan kualitas sperma. Sperma cacat, membawa risiko bayi cacat. Libido laki-laki yang darahnya tercemar pebe akan turun dan dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Akhirnya, terhadap kaum lansia, si pebe ini mempercepat proses penuaan alias memperpendek umur.
Enemy #1 in the Air
Lantas dari mana datangnya si pebe? Dialah musuh nomor satu di udara kita, terutama udara di kota-kota besar. Dia datang sebagai emisi gas buang bahan bakar bensin dari kendaraan bermotor yang memenuhi jalan-jalan kota. Senyawa timbal atau TEL (tetra ethyl lead), dipergunakan untuk menaikkan oktan (octane booster) dalam bensin.
Sekadar contoh, hasil kajian Vera Hakim dari UI pada 1998, menemukan, akumulasi pebe dalam darah anak-anak di Surabaya rata-rata 68 mikrogram/l, hingga menyebabkan anak kian agresif, kurang konsentrasi, bahkan menyebabkan kanker.
Laporan UNICEF dan UNEP (1994), menyebutkan, tingginya kadar pebe di udara kota Bangkok, Thailand, menyebabkan 200.000 - 500.000 kasus hipertensi, dan sekitar 400 kematian setiap tahun. Anak-anak kehilangan rata-rata empat poin IQ pada usia 7 tahun. Dalam jangka panjang, berdampak pada menurunnya produktivitas dan memicu serangan jantung.
Si pebe ini juga dapat mengkontaminasi tanah dan mencemari hasil pertanian yang dikonsumsi manusia. Sebuah laporan menyebutkan, penggunaan bahan bakar bertimbal melepaskan 95% timbal yang mencemari udara di negara berkembang.
Tak Cukup Balongan
Kalau sudah jelas dari mana asal muasalnya, kenapa juga bensin bertimbal masih digunakan? Negara-negara maju sebetulnya sudah menghapuskan bensin bertimbal sejak 20 tahun lalu. Atas maraknya berbagai kampanye anti timbal sejak 1997, wilayah Jakarta pun sebetulnya sudah bisa bebas dari bensin bertimbal sejak 2005.
Pebe pada awal penggunaannya diperlukan untuk meningkatkan oktan dari BBM. Aditif tersebut digunakan juga karena merupakan alternatif termurah untuk meningkatkan performa BBM sesuai tuntutan spesifikasi mesin kendaraan. Pertamina sekarang, selaku produsen BBM, memproduksi BBM beroktan tinggi dengan bahan baku HOMC (High Octane Mogas Component) tanpa pebe. Contoh nyata upaya untuk memproduksi HOMC adalah Proyek Langit Biru Balongan (PLBB).
Proyek pembangunan kilang minyak penghasil bensin tanpa timbal ramah lingkungan milik PT Pertamina (Persero) ini menghasilkan bensin tanpa timbal beroktan 92 dan 95. Bahkan sebelumnya, bensin Super TT (oktan 94) yang diproduksi Kilang Minyak UP VI Balongan sudah beredar, meski masih terbatas di kawasan DKI Jakarta, Cirebon, dan pantai utara (Pantura) Jabar, serta Bali.
Tapi, mengandalkan Balongan yang berkapasitas 340 ribu barrel/hari, masih jauh dari cukup untuk ‘mengusir’ si pebe. Namun bagi Pertamina, persoalannya tak sesederhana membalik telapak tangan.Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadikan tiga kilang lainnya, yakni kilang Dumai, Plaju, dan Balikpapan, mampu memproduksi bensin tanpa timbal, tidaklah sedikit.
Namun seperti diungkapkan Dirut Pertamina Ari H. Soemarno, perusahaan telah mengkaji dengan cermat sisi ekonomis dari investasi pengembangan kilang yang mampu memproduksi bensin nontimbal. Yang terang, jika dihitung lebih luas, kerugian memakai bensin bertimbal akan lebih besar dari ongkosnya. Sebuah penelitian dari Lembaga Pengembangan dan Riset Minyak dan Gas menemukan kerugian pencemaran polusi timbal bisa dua kali lipat dibanding biaya yang harus dikeluarkan untuk menguranginya.
Keberhasilan
Penghapusan bensin bertimbal menjadi salah satu target utama Dirut Pertamina Ari H. Soemarno sejak memimpin pada Maret 2006. Pada awal Juli 2006, Pertamina mengumumkan untuk mengubah semua bensin bertimbal menjadi nontimbal. Artinya, Pertamina harus lebih banyak memproduksi Mogas yang ber-octane tinggi (HOMC), agar tidak lagi membutuhkan TEL, untuk menaikkan octane.
Sebuah penelitian terakhir menunjukkan, kandungan timbal pada bensin Indonesia pada 2006 sudah menurun drastis, yaitu hanya tersisa 0,038 g/l, jauh di bawah ambang batas normal yang diperkenankan, karena bensin produksi Pertamina memang seluruhnya sudah nontimbal sejak Juni 2006 silam.
Untuk memproduksi bensin bebas timbal, Pertamina mematok dua strategi. Jangka pendek, Pertamina mengimpor langsung bensin nontimbal sepanjang kapasitas produksi belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan, Jangka panjang, meningkatkan kapasitas kilang yang khusus memproduksi bensin nontimbal. Pertamina komit menanamkan investasi yang dibutuhkan.
Targetnya bukan hanya menghapuskan timbal, namun juga memenuhi semua standar kualitas bahan bakar yang menjadi trend global, seperti pengurangan kandungan sulfur. “Kelak bahan bakar Pertamina akan sesuai dengan standar Euro-type,” demikian Ari.
Komitmen dan upaya Pertamina untuk memproduksi bahan bakar yang memenuhi standar bahan bakar global yang kompetitif, yaitu dengan tetap mempertimbangkan sisi ekonomis dan bisnis, boleh disebut salah satu keberhasilan Pertamina. Tentu bukan proses yang mudah. ‘Terusirnya’ si pebe yang menakutkan dari udara kita, maka salah satu ancaman terdepan generasi bangsa ini sudah dihilangkan.
Jika terhirup dan masuk ke tubuh, sebagian besar akan ditimbun dalam tulang. Ketika orang mengalami stres, pebe diremobilisasi dari tulang dan masuk ke peredaran darah sehingga menimbulkan risiko keracunan. Dalam jangka panjang, penimbunan pebe bisa berbahaya.
Pebe yang ditimbun dalam tulang seorang perempuan hamil, berisiko mengakibatkan kesehatan janin dan pertumbuhan balita terganggu, seperti, bayi cacat, bahkan keguguran! Bahkan jika berhasil lahir selamat, balita yang mendapatkan asupan timbal terus-menerus dari udara maupun air susu ibu, akan terhambat perkembangan sistem sarafnya. Anak menghadapi risiko penyakit neurotik, sukar belajar, dan penurunan tingkat IQ. Peningkatan kadar pebe dalam darah dari 10 menjadi 20 5g/dl, menurunkan IQ rata-rata dua poin.
Pada remaja, pebe meningkatkan kelakuan kriminal. Sementara pada perempuan dewasa, selain mengganggu sistem reproduksi, juga mengganggu daur menstruasi. Pada laki-laki, pebe menurunkan jumlah dan kualitas sperma. Sperma cacat, membawa risiko bayi cacat. Libido laki-laki yang darahnya tercemar pebe akan turun dan dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Akhirnya, terhadap kaum lansia, si pebe ini mempercepat proses penuaan alias memperpendek umur.
Enemy #1 in the Air
Lantas dari mana datangnya si pebe? Dialah musuh nomor satu di udara kita, terutama udara di kota-kota besar. Dia datang sebagai emisi gas buang bahan bakar bensin dari kendaraan bermotor yang memenuhi jalan-jalan kota. Senyawa timbal atau TEL (tetra ethyl lead), dipergunakan untuk menaikkan oktan (octane booster) dalam bensin.
Sekadar contoh, hasil kajian Vera Hakim dari UI pada 1998, menemukan, akumulasi pebe dalam darah anak-anak di Surabaya rata-rata 68 mikrogram/l, hingga menyebabkan anak kian agresif, kurang konsentrasi, bahkan menyebabkan kanker.
Laporan UNICEF dan UNEP (1994), menyebutkan, tingginya kadar pebe di udara kota Bangkok, Thailand, menyebabkan 200.000 - 500.000 kasus hipertensi, dan sekitar 400 kematian setiap tahun. Anak-anak kehilangan rata-rata empat poin IQ pada usia 7 tahun. Dalam jangka panjang, berdampak pada menurunnya produktivitas dan memicu serangan jantung.
Si pebe ini juga dapat mengkontaminasi tanah dan mencemari hasil pertanian yang dikonsumsi manusia. Sebuah laporan menyebutkan, penggunaan bahan bakar bertimbal melepaskan 95% timbal yang mencemari udara di negara berkembang.
Tak Cukup Balongan
Kalau sudah jelas dari mana asal muasalnya, kenapa juga bensin bertimbal masih digunakan? Negara-negara maju sebetulnya sudah menghapuskan bensin bertimbal sejak 20 tahun lalu. Atas maraknya berbagai kampanye anti timbal sejak 1997, wilayah Jakarta pun sebetulnya sudah bisa bebas dari bensin bertimbal sejak 2005.
Pebe pada awal penggunaannya diperlukan untuk meningkatkan oktan dari BBM. Aditif tersebut digunakan juga karena merupakan alternatif termurah untuk meningkatkan performa BBM sesuai tuntutan spesifikasi mesin kendaraan. Pertamina sekarang, selaku produsen BBM, memproduksi BBM beroktan tinggi dengan bahan baku HOMC (High Octane Mogas Component) tanpa pebe. Contoh nyata upaya untuk memproduksi HOMC adalah Proyek Langit Biru Balongan (PLBB).
Proyek pembangunan kilang minyak penghasil bensin tanpa timbal ramah lingkungan milik PT Pertamina (Persero) ini menghasilkan bensin tanpa timbal beroktan 92 dan 95. Bahkan sebelumnya, bensin Super TT (oktan 94) yang diproduksi Kilang Minyak UP VI Balongan sudah beredar, meski masih terbatas di kawasan DKI Jakarta, Cirebon, dan pantai utara (Pantura) Jabar, serta Bali.
Tapi, mengandalkan Balongan yang berkapasitas 340 ribu barrel/hari, masih jauh dari cukup untuk ‘mengusir’ si pebe. Namun bagi Pertamina, persoalannya tak sesederhana membalik telapak tangan.Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadikan tiga kilang lainnya, yakni kilang Dumai, Plaju, dan Balikpapan, mampu memproduksi bensin tanpa timbal, tidaklah sedikit.
Namun seperti diungkapkan Dirut Pertamina Ari H. Soemarno, perusahaan telah mengkaji dengan cermat sisi ekonomis dari investasi pengembangan kilang yang mampu memproduksi bensin nontimbal. Yang terang, jika dihitung lebih luas, kerugian memakai bensin bertimbal akan lebih besar dari ongkosnya. Sebuah penelitian dari Lembaga Pengembangan dan Riset Minyak dan Gas menemukan kerugian pencemaran polusi timbal bisa dua kali lipat dibanding biaya yang harus dikeluarkan untuk menguranginya.
Keberhasilan
Penghapusan bensin bertimbal menjadi salah satu target utama Dirut Pertamina Ari H. Soemarno sejak memimpin pada Maret 2006. Pada awal Juli 2006, Pertamina mengumumkan untuk mengubah semua bensin bertimbal menjadi nontimbal. Artinya, Pertamina harus lebih banyak memproduksi Mogas yang ber-octane tinggi (HOMC), agar tidak lagi membutuhkan TEL, untuk menaikkan octane.
Sebuah penelitian terakhir menunjukkan, kandungan timbal pada bensin Indonesia pada 2006 sudah menurun drastis, yaitu hanya tersisa 0,038 g/l, jauh di bawah ambang batas normal yang diperkenankan, karena bensin produksi Pertamina memang seluruhnya sudah nontimbal sejak Juni 2006 silam.
Untuk memproduksi bensin bebas timbal, Pertamina mematok dua strategi. Jangka pendek, Pertamina mengimpor langsung bensin nontimbal sepanjang kapasitas produksi belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan, Jangka panjang, meningkatkan kapasitas kilang yang khusus memproduksi bensin nontimbal. Pertamina komit menanamkan investasi yang dibutuhkan.
Targetnya bukan hanya menghapuskan timbal, namun juga memenuhi semua standar kualitas bahan bakar yang menjadi trend global, seperti pengurangan kandungan sulfur. “Kelak bahan bakar Pertamina akan sesuai dengan standar Euro-type,” demikian Ari.
Komitmen dan upaya Pertamina untuk memproduksi bahan bakar yang memenuhi standar bahan bakar global yang kompetitif, yaitu dengan tetap mempertimbangkan sisi ekonomis dan bisnis, boleh disebut salah satu keberhasilan Pertamina. Tentu bukan proses yang mudah. ‘Terusirnya’ si pebe yang menakutkan dari udara kita, maka salah satu ancaman terdepan generasi bangsa ini sudah dihilangkan.
sumber :
http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3004&Itemid=340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar